katalog pameran "Lady Rocker" 4 seniman lulusan IKJ di Parkir Space, jl. prawirotaman II, jogja, maret 2007
FOR BETTER WORLD
(JERITAN SEORANG ROCKER)
Ketika pertama kali diomongin Dita (Andita Purnamasari) bahwa dia akan pameran di Parkir Space, sontak saya bertanya “kamu mau pameran apa mau nyanyi lagu rock ?”. Pertanyaan itu muncul begitu saja, karena memang kita semua, para pelanggan setia Parkir Space selalu ingat bahwa Dita adalah Lady Rocker yang sering menyanyikan lagu2 dari Anggun C Sasmi lengkap dengan gaya dandannya. Maka kemudian ketika Dita benar2 serius meyakinkan saya bahwa dia akan pameran karya seni, saya baru ngeh bahwa Dita meminta saya menulis untuk katalognya.
Dua bulan setelah itu, Dita ketemu lagi dengan saya, dan menunjukkan sketsa2 karya yang akan dia buat untuk pameran di Parkir Space. Bahkan Dita sudah membuat poster pamerannya, dengan tajuk LADY ROCKER’S – FOR BETTER WORLD, dan dia mengajak pula teman2nya untuk pameran, sesama rocker yang juga personil grup band dimana mereka berempat sering manggung bareng di acara2 rock show di Jakarta. Ketiganya adalah Ahmad Fauzi (sering dipanggil Kejo) gitaris, Afrialdi Eka (Mono) drummer, dan Philips Aldimulyo Budiman (Philips) bassist.
Mereka memilih tema “For Better World” dan banyak membicarakan masalah isyu lingkungan, moralitas dan religi dalam setiap karya mereka. Bagi mereka berempat, keadaan dunia yang sudah rusak ini patut untuk disembuhkan, atau paling tidak lebih banyak diperhatikan oleh penghuninya, seluruh umat manusia.
Tema yang umumnya diusung oleh para aktivis ini menjadi agak beda karena di tangan mereka berempat ‘sentuhan’ nuansa rock-nya masih terasa. Hal ini mengingatkan kita akan tema lagu-lagu rock pada tahun 1980-an yang sangat moralis dan menggugah kesadaran kita pada kondisi dunia yang karut marut.
Isyu lingkungan banyak digarap Dita dalam karya2 instalasinya, seperti dalam karya berjudul ‘The World of You and I” yang terdiri dari susunan burung2 origami kertas dan liukan kawat yang digantung yang menggambarkan pepohonan nan kering, apalagi susunan burung origami yang berwarna biru akan membentuk tulisan PEACE. Wah…lengkap sudah pesan yang disodorkan, damai dan tenang…
Pada karya lainnya yang berjudul “Lost Generation”, Dita menyorot masalah dunia yang kehilangan generasi penerus. Anak2 adalah korban keserakahan, hingga mereka akhirnya ada yang sampai menderita busung lapar, gizi buruk, dll.
Waah…yang ini juga sangat mulia pesannya…
Satu karya lagi dari Dita berbicara mengenai sebuah negeri yang haus akan perdamaian dan juga kekuasaan. Siapa lagi kalau bukan Amerika Serikat. Dua hal yang menjadi ironis namun sama2 kencangnya disuarakan oleh Amerika.
Waaah…karya ini lebih menohok pesannya, mulia dan keras…
Mengamati karya2 Dita seakan kita dibawa pada suasana demo yang dilakukan oleh para aktivis Green Peace yang sarat dengan isu2 besar tentang lingkungan, hal yang juga ditulis dalam lirik2 lagu rock era 80-an di Indonesia. Seperti jeritan Nicky Astria berikut :
…Gersang melandaaa…Wajah desakuu…Semakin pucat pasi tiada berseriii…
…Gersang melandaaa…Tanah desakuu…Kering merekah tanpa kehidupaaann…
Nah, sekarang kita beranjak ke karya2 Philips…
Philips banyak bergumul dengan tema2 religi, merekonstruksi pemikiran kita tentang Tuhan dan institusi Agama. Agama yang dikomersialkan, agama yang menjadi pemicu kejadian penting di dunia ini, baik kejadian dalam artian positif maupun negatif, serta pemahaman agama yang hanya sedikit berbeda dengan umat se-iman pun akan menimbulkan amuk hebat di kalangan tersebut.
Waaah… terus agama itu menjadi apa ya ?????
Maaf kalau saya kemudian kembali teringat pada lagu2 rock era 80-an, yang juga mengangkat tema agama dalam lirik lagu mereka. Meski yang banyak dijadikan tema adalah tentang sifat2 yang baik dan yang buruk manusia, dosa, setan, malaikat hingga Tuhan, namun sepertinya lirik2 lagu itu sangat beda dengan apa yang digagas Philips. Keresahan Philips terhadap Tuhan dan institusi agama lebih bersifat personal, mungkin itu adalah bagian dari pencarian dia terhadap keyakinannya, Tuhannya.
Hal ini dapat kita lihat pada karyanya yang berjudul “I’m…….” yang berupa instalasi gantungan tulisan “I’m atheis” dalam format balon kata sebanyak puluhan buah.
Perasaan serupa juga dapat kita rasakan dalam karya Philips berjudul “Bersih-bersih” yang menghadirkan sikat gigi dibengkokkan dan di lumuri dengan resin yg menyerupai odol, yang mengajak kita untuk bercermin, membersihkan diri dari segala dosa.
Kembali saya teringat pada lirik sebuah lagu dari Kaisar Band :
…Garis bintang manusiaa…Berdiri tegak di depan cermiin…Menatap bayang dirimuu…Agar mengerti hidup iniii… Wooow…
Juga lagu ciptaan Donny Fattah yang dinyanyikan oleh Power Metal :
…Tuhaaan…yang terlupa…Kaulah penguasa alam…Langit dan bumi sujud padaMu…
…Kau Yang Maha Memberi…Segala nikmat kepada kami…
Nah, sekarang kita sampai pada seniman ketiga yaitu Ahmad Fauzi yang sering dipanggil Kejo.
Kejo menghadirkan dua buah karya print yang menggambarkan wajah2 dari orang2 yang dia kenal. Karya pertama berjudul “Smile Make Peace”, berupa deretan wajah2 orang tersenyum dengan latar belakang warna-warni, yang maksudnya adalah dengan senyum kita dapat menjadikan dunia damai, aman, tentram. Walau masalah tetap ada, hadapilah dengan senyum. Begitulah kira2 ajakan Kejo. Ajakan yang tidak mengingatkan saya pada lirik lagu rock 80-an, namun pada iklan sebuah pasta gigi… ..maaf ya Kejo…
Karyanya yang kedua adalah deretan wajah orang tersenyum yang image-nya sama dengan karya pertama, semuanya mempunyai tanduk, namun hanya dibuat hitam putih, tanpa latar belakang. Maksudnya sih karya ini ngomong tentang sisi baik dan buruk pada manusia, seperti dua kutub yang saling berlawanan namun menyeimbangkan. Seperti positif negatif, atau yin yang.
Saya melihat karya Kejo yang kedua ini malahan seperti melihat wajah setan yang menjelma dalam diri manusia, dan celakanya saya langsung teringat pada syair lagu Valhalla yang berjudul Seruan Setan, dalam kompilasi kaset 10 Finalis Festival Rock Se-Indonesia ke- 6 berikut ini :
..Lihat setan-setan yang berserakan…Ada iblis perang yang bertebaran…Dan serdadu boneka yang diperintahkan…Siap melahap mangsa yang dataaang…
Oke, kini kita sampai pada seniman terakhir, yaitu Mono, yang nama lengkapnya adalah Afrialdi Eka.
Mono banyak bermain dengan citra sebuah benda dan objek. Sifat suatu benda serta fungsinya kadang ditabrakkan dengan benda atau objek lainnya, sehingga akan timbul makna baru atas benda bentukan tadi. Secara visual karyanya langsung mengoyak rasa penonton, sebagaimana kita lihat pada karyanya yang menyerupai bentuk tangga, dengan anak tangga yang diganti dengan beberapa bilah pisau. Miris…dan ngeri merasakannya, namun sesekali enak dipandang…
Begitu pula dengan karyanya yang kedua yang menghadirkan rumah pohon di dalam gerombolan daun pada pohon bonsai. Bahkan Mono masih menambah replika tangga berundak yang mengelilingi batang bonsai tersebut. Karya ini seakan mengajak kita untuk menjadi kecil, seperti liliput, dan kemudian meniti anak tangga menuju rumah pohon nan tenang, damai dan sepi.
Lewat karya2nya Mono mengajak kita untuk merenungkan perasaan damai dan tenang yang sekarang sangat jarang kita temui, apalagi di kota besar seperti Jakarta yang sudah sangat menyesakkan, polutif dan bahkan menyengsarakan warganya.
Teringat Jakarta, melayang pula ingatan saya pada band dari Jakarta, Whizz Kid yang meneriakkan lagu Nyanyian Kehidupan seperti ini :
..Diantara kerasnya wajah kota..Yang penuh dengan wajah kemunafikan..Kan kuhadapi kenyataan ini…Tuk jalani sandiwara ini…
Aduh..maaf kalau saya banyak mengutip lagu2 rock era 80-an, karena memang sejatinya saya juga seorang rocker !
ROCK NEVER DIES !!!
Bambang Toko Witjaksono
Dosen, Seniman & Vokalis FORDOM